Asas Dakwah dan Menghadapi Perselisihan (Bag. 2): Mempersiapkan Diri Apabila Perselisihan Tak Berakhir
Perselisihan pasti akan tumbuh subur di akhir zaman ini. Sebab semua orang semakin mudah untuk mengutarakan isi pikirannya. Tak sulit bagi kita untuk menemukan perdebatan di media sosial. Berbagai perkara bisa menjadi tema perdebatan. Bahkan seringnya, perdebatan itu tiada manfaat dan tiada ujungnya. Oleh sebab itu, di dunia yang penuh perselisihan ini, seseorang hendaknya senantiasa berbekal untuk menghadapinya.
Setelah berusaha berdialog tatkala terjadi perselisihan, sebagaimana asas pertama sebelumnya, tak semuanya berakhir pada resolusi atau kesimpulan yang melapangkan kedua belah pihak. Jika keduanya tetap bertahan dengan argumennya masing-masing, lalu berlapang dada, maka ini adalah bagian dari kebaikan. Namun, tak dapat dielakkan keadaan di mana salah satu pihak masih tetap kukuh dengan pendapatnya yang mungkin terkadang dianggap lemah. Lalu, apa langkah selanjutnya?
Langkah selanjutnya adalah menyiapkan diri untuk menerima keadaan yang tak ideal itu dengan ibadah dan meningkatkan ketakwaan pada Allah ﷻ. Bagi seseorang yang sudah berusaha merendahkan hati dan melapangkan dadanya untuk memulai berdialog, sangat berat rasanya jika pihak yang diajak berdialog tidak mau inshaf atau rujuk kepada pendapat yang benar. Apalagi bagi seorang yang telah berdialog dengan hujjah ilmiah, sementara orang yang diajaknya justru menggunakan argumentasi yang lemah atau menyerang pribadi (ad hominem), maka wajar sekali seorang dapat terpancing emosinya. Maka, dalam keadaan inilah seseorang sangat butuh terhadap bekal yang melapangkan dadanya.
Bekal utama berselisih: Melapangkan dada dengan pondasi iman dan amal saleh
Syekh Saad As-Syal hafizhahullah mengatakan bekal utama yang melapangkan dada adalah dengan pondasi iman, amal saleh, dan tazkiyatun nafs. Kesemua itu akan melahirkan kesabaran, sifat pemaaf, dan toleransi. Beliau hafizhahullah mengatakan,
فإنه لا ينتظر الأدب عموماً، ولا أدب الخلاف خصوصاً إلا ممن زكت نفسه بالإيمان وعمل الصالحات، وتربت على الصبر والعفو والتسامح.
“Sesungguhnya adab secara umum, dan adab dalam perbedaan pendapat secara khusus, tidaklah diharapkan muncul kecuali dari orang yang jiwanya telah disucikan dengan iman dan amal saleh, serta telah dididik dengan kesabaran, pemaafan, dan sikap toleran.” (Adabul Ikhtilaf Bainas Shahabah, hal. 125)
Maka, rumusan bagi seorang yang matang dalam menghadapi perselisihan menurut beliau adalah dengan mensucikan jiwa melalui amal saleh. Sebagaimana dalam ayat Al-Qur’an bertemakan talak yang membahas tentang perselisihan sengit di antara dua pihak, Allah ﷻ senantiasa mewasiatkan untuk menjaga amal saleh. Setelah panjang lebar menjelaskan syariat talak, Allah ﷻ berfirman,
حَافِظُوْا عَلَى الصَّلَوٰتِ وَالصَّلٰوةِ الْوُسْطٰى وَقُوْمُوْا لِلّٰهِ قٰنِتِيْنَ
“Peliharalah semua salat (fardu) dan salat Wusṭā. Berdirilah karena Allah (dalam salat) dengan khusyuk.” (QS. Al-Baqarah: 238)
Al-Alusi memberikan tafsiran,
ولَعَلَّ الأمْرَ بِها عَقِيبَ الحَضِّ عَلى العَفْوِ والنَّهْيِ عَنْ تَرْكِ الفَضْلِ؛ لِأنَّها تُهَيِّئُ النَّفْسَ لِفَواضِلِ المَلَكاتِ لِكَوْنِها النّاهِيَةَ عَنِ الفَحْشاءِ والمُنْكَر
“Perintah untuk salat setelah anjuran untuk memaafkan dan larangan meninggalkan kebaikan, mungkin karena salat dapat mempersiapkan jiwa untuk memiliki akhlak yang mulia, sebab salat mencegah dari perbuatan keji dan munkar.” (Ruhul Maani diakses via Al-Bahits Al-Qur’ani)
Sehingga seorang muslim dalam setiap perselisihan, Allah ﷻ perintahkan untuk menggandengnya dengan amal ibadah. Semua ini dilakukan sembari menghadirkan sebab dengan berdialog, lalu bertawakal kepada Allah ﷻ dengan beramal saleh.
Beramal saleh melahirkan keberuntungan dan penyelesaian masalah
Ketahuilah, banyak perselisihan itu selesai tanpa dipahami dengan sempurna bagaimana caranya bisa terjadi. Maka, inilah yang disebut dengan keberuntungan. Mungkin kita bisa melihat atau menemukan penjelasannya, tetapi sulit untuk menerangkannya. Dan keberuntungan selalu berada pada orang yang saleh. Allah ﷻ berfirman,
فَاَمَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ فَيُدْخِلُهُمْ رَبُّهُمْ فِيْ رَحْمَتِهٖۗ ذٰلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْمُبِيْنُ
“Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, maka Tuhan mereka memasukkan mereka ke dalam rahmat-Nya (surga). Itulah keberuntungan yang nyata.” (QS. al-Jatsiyah: 30)
Allah ﷻ dengan jelas berfirman,
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهٗ حَيٰوةً طَيِّبَةًۚ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. an-Nahl: 97)
Maka, keberuntungan apalagi yang lebih besar daripada keberuntungan yang dijanjikan Allah ﷻ kepada hamba-Nya? Keberuntungan yang Allah ﷻ janjikan pun tak hanya dalam satu bentuk, tetapi hadir dalam berbagai rupa. Salah satunya adalah kelapangan hati yang ditanamkan kepada seorang mukmin.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتَوُا الزَّكٰوةَ لَهُمْ اَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْۚ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, beramal saleh, menegakkan salat, dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut pada mereka dan tidak (pula) mereka bersedih.” (QS. Al-Baqarah: 277)
Mengapa beramal saleh ditekankan ketika berselisih?
Hal ini disebabkan paradigma yang telah Allah ﷻ luruskan pada diri seseorang yang mengikuti manhaj Nabi ﷺ dalam berselisih. Paradigma itu adalah bahwasanya seseorang memang tidak bisa dipaksa untuk menerima argumentasi yang kita berikan. Jika argumentasi atau hidayah irsyad wal bayan saja tak mesti diterima, apalagi hidayah taufiq, hanya Allah ﷻ yang mampu melakukannya.
Allah ﷻ berfirman,
۞ لَيْسَ عَلَيْكَ هُدٰىهُمْ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ يَهْدِيْ مَنْ يَّشَاۤءُ ۗوَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ خَيْرٍ فَلِاَنْفُسِكُمْ ۗوَمَا تُنْفِقُوْنَ اِلَّا ابْتِغَاۤءَ وَجْهِ اللّٰهِ ۗوَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ خَيْرٍ يُّوَفَّ اِلَيْكُمْ وَاَنْتُمْ لَا تُظْلَمُوْنَ
“Bukanlah kewajibanmu (Nabi Muhammad) menjadikan mereka mendapat petunjuk, tetapi Allahlah yang memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki (berdasarkan kesiapannya untuk menerima petunjuk). Kebaikan apa pun yang kamu infakkan, (manfaatnya) untuk dirimu (sendiri). Kamu (orang-orang mukmin) tidak berinfak, kecuali karena mencari rida Allah. Kebaikan apa pun yang kamu infakkan, niscaya kamu akan diberi (pahala) secara penuh dan kamu tidak akan dizalimi.” (QS. Al-Baqarah: 272)
Maka, lakukanlah penyiapan diri agar tidak kecewa dengan kemungkinan realita itu. Allah ﷻ tidak hanya mewasiatkan ini kepada level mukmin. Namun, Allah ﷻ menjadikan wasiat ini kepada sosok selevel Nabi Nuh ‘alaihissalam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَاُوْحِيَ اِلٰى نُوْحٍ اَنَّهٗ لَنْ يُّؤْمِنَ مِنْ قَوْمِكَ اِلَّا مَنْ قَدْ اٰمَنَ فَلَا تَبْتَىِٕسْ بِمَا كَانُوْا يَفْعَلُوْنَۖ
“Diwahyukan (oleh Allah) kepada Nuh, “(Ketahuilah) bahwa tidak akan beriman di antara kaummu, kecuali orang yang benar-benar telah beriman. Maka, janganlah engkau bersedih atas apa yang selalu mereka perbuat.” (QS. Hūd: 36)
Allah ﷻ menguatkan seorang Nabi Nuh ‘alaihissalam, pendakwah tauhid yang pertama kali berhadapan dengan kesyirikan. Beratus tahun berdakwah, ujiannya luar biasa, sampai mendapat gelar Ulul Azmi, tetapi Allah ﷻ tetap wasiatkan untuk jangan bersedih. Inilah sebuah pengingat bagi kita, bahwa dakwah tak pasti diterima, sedangkan perselisihan mudah sekali terjadi. Maka, bekalilah diri dengan iman dan amal saleh, agar tumbuh hati yang bersih dan jiwa yang sabar.
Beramal saleh adalah perintah khusus saat menghadapi perselisihan
Bahkan, mendekatkan diri kepada-Nya dan memperbanyak ibadah adalah perintah Allah ﷻ secara khusus tatkala terjadi perselisihan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ نَعْلَمُ اَنَّكَ يَضِيْقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُوْلُوْنَۙ (97) فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَكُنْ مِّنَ السّٰجِدِيْنَۙ (98) وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتّٰى يَأْتِيَكَ الْيَقِيْن
“Sungguh, Kami benar-benar mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit (gundah dan sedih) disebabkan apa yang mereka ucapkan. Maka, bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, jadilah engkau termasuk orang-orang yang sujud (salat), dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu kepastian (kematian).” (QS. Al-Ḥijr: 97-99)
Dalam ayat lain juga Allah ﷻ berfirman,
وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مَخْرَجًا
“Siapa saja yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya.” (QS. At-Tahrim: 2)
Allah ﷻ menjadikan solusi ada pada peningkatan ibadah tersebut. Sehingga bisa dimaknai bahwa solusi itu adalah ibadah itu sendiri, baik ia berbuahkan jalan keluar atau ialah jalan keluar itu sendiri, yakni kelapangan hati. Karena dalam konteks surah Al-Hijr, Allah ﷻ perintahkan hamba-Nya untuk beribadah sampai wafat. Tanda bahwa masalah selalu ada dan solusinya selalu bersenyawa dengan ibadah itu sendiri. Sedangkan dalam konteks surah At-Tahrim, Allah ﷻ narasikan ketakwaan sebagai induk yang berbuahkan solusi.
Inilah yang diteladankan Nabi ﷺ dan para salaf yang saleh terdahulu. Tatkala Nabi ﷺ ada masalah, beliau langsung mendirikan salat. Dalam riwayat lain, Nabi ﷺ meminta Bilal untuk mengistirahatkan kaum muslimin dengan ikamah shalat. Bahkan dari lisannya yang mulia, beliau memotivasi kita,
عبادة في الهرج والفتنة كهجرة إلي
“Ibadah saat huru-hara dan fitnah, pahalanya laksana hijrah kepadaku.”
Oleh karena itu, ambillah manhaj Nabi ﷺ dalam berselisih, yakni mensucikan jiwa dengan menguatkan iman dan amal saleh. Raihlah pahala hijrah di tengah perselisihan yang terjadi saat ini. Jadilah orang yang beruntung sebab meniti jalan Nabi ﷺ, bukan menjadi orang yang bangkrut karena sibuk ghibah dan fitnah terbawa arus perselisihan di kalangan kita.
[Bersambung]
***
Penulis: Glenshah Fauzi
Artikel Muslim.or.id
Referensi:
- أدب الاختلاف بين الصحابة وأثره على الواقع الإسلامي المعاصر karya Syekh Saad bin Sayyid bin Quthb hafizhahullah.
- Al-Bahits Al-Hadits dari sunnah.one
- Ruhul Maani via Al-Bahits Al-Qur’ani
Artikel asli: https://muslim.or.id/106142-asas-dakwah-dan-menghadapi-perselisihan-bag-2.html